Setelah 2 minggu, aku mulai bisa bergaul dengan orang-orang di tempat kerja, para seniorku juga mulai sedikit meluluh, aku bahkan mulai dengat dengan supervisorku yang bernama Lanny, mungkin karena kita sering satu shift dan sering makan siang bersama saat istirahat. Lanny pernah bertanya tentang Henry yang sering menjemputku hampir tiap hari, dia curiga aku punya hubungan istimewa dengan Henry, aku hanya tertawa dan menjelaskan kalau kita hanya teman. Untuk memastikan hal itu aku mengajak Lanny ikut saat Henry menjemputku hari ini, kami berencana pergi ke Ace Hardware untuk mencari beberapa perlengkapan apartmen. Aku bercerita kalau hari ini aku bertemu dnegan Melissa salah satu teman model Henry yang paling jutek, dia sudah merasa seperti Diva, banyak sekali permintaan khusus saat dia check in. Henry bercerita kalau malam ini dia ada Fashion Show dan dia mengajak kami untuk ikut, dia bahkan mengajak kami untuk ikut ke backstage, aku sih merasa bersemangat semantara Lanny dengan tegas menolak, dari tadi dia memang kelihatan tidak nyaman, yah... aku tidak bisa memaksa, kamipun mengatarkan Lanny sampai depan rumahnya.
Tiba di depan Ace Hardware kami bertemu dengan Marissa, keduanya terlihat sangat akrab, aku bahkan merasa seperti seolah-olah tak terlihat. sedikit merasa iri dengan kedekatan mereka, tapi bagaimanapun Marissa kenal Henry dari sejak mereka sekolah. Kamipun menunda rencana ke Ace Hardware dan nongkrong di Starbuck, kembali keduanya sibuk mengobrol tanpa mempedulikan aku dan lagi aku tidak teralu mengerti dengan pembicaraan mereka. Henry kemudian meninggalkan aku dan Marissa untuk pergi ke kamar kecil. kami terdiam sebentar sampai Marissa menanyakan senuatu yang membuat aku terkejut.
"Sorry?" Tanyaku bingung.
"You heard me..."
"Aku sama sekali tidak mengerti..." Aku masih bingung.
"Walau dia terlihat gagah diluar tapi hatinya sangat lembut, he's so fragile..."
"Apa Henry gay?" Aku sedikit merengutkan dahi.
Marissapun terlihat terkejut atas ketidaktahuanku. "Jadi kamu bukan..."
Aku menggeleng dengan cepat sampai leherku terasa sakit.
"Maaf, aku kira kalian...."
"Aku bahkan tidak tahu kalau dia gay, dia tidak pernah bercerita apapun soal itu, ya dia memang bersikap sangat baik, sedikit teralu baik dibanding teman-temanku yang lain tapi aku tidak pernah curiga..." Sekarang semuanya jadi masuk akal.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan, meninggalkannya?" Tanya Marissa.
Aku memang tidak membenci Henry karena dia gay, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman.
Henry kembali muncul dan kami hanya terdiam.
Aku masih terdiam saat kami beranjak menuju apartment.
"Ada apa, kenapa tiba-tiba jadi pendiam?" Tanya Henry.
Aku sebenarnya masih merasa tidak nyaman, dan ragu, apa aku harus menyakannya langsung pada Henry.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu gay Henry?" Tanyaku berusaha sesopan mungkin.
"Oh, aku mengerti pasti Marissa yang bilang..."
"Dia pikir kita pacaran..." Sekarang nada bicaraku mulai terdengar kesal.
"Apa itu penting..."
"Penting bagiku..." Nada biacaraku meninggi. "Aku pikir kita teman..."
"Kenapa, apa kamu sekarang merasa tidak nyaman?"
"Henry, aku bukan orang seperti itu, aku tidak memilih teman karena orientasi seksualnya..."
"Aku hanya takut..." Jawab Henry, Marissa benar, hati Henry memang lembut, aku yakin aku melihat matanya berkaca-kaca. "Tidak banyak orang yang ingin berteman dengan ku, kebanyakan mereka hanya ingin tidur denganku..."
Aku mencoba untuk mencerna ucapan Hnery dengan baik selaipun telingaku sedikit merasa gatal mendengarnya.
"Seharusnya aku yang minta maaf, aku seharusnya tidak mem-push kamu seperti itu..." Jawabku sedikit merasa iba.
"Jadi, kita masih berteman?" Tanya Henry.
"Tentu saja Henry, selama kamu tidak macam-macam sama aku..." Jawabku sedikit tertawa.
"Kenapa kamu tertawa, ini tidak lucu..." Jawab Henry yang juga malah ikut tertawa.
"Nggak, aku hanya teringat ucapan Marissa, kalau Hnery itu diluarnya gagah tapi hantinya lembut..." tawaku semakin tidak terkenadali, begitu juga dengan Henry.
"Sial..." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
Komentar
Posting Komentar